Buku Pahlawan Sudah Tertutup

Fachrul Rasyid HF

Oleh : Fachrul Rasyid HF

LEMBAR-LEMBAR buku pahlawan masih banyak yang kosong. Artinya masih banyak peluang bagi pahlawan-pahlawan baru di masa yang akan datang. Namun melihat perkembangannya, buku itu kini sudah tertutup. Soalnya, setelah Indonesia merdeka atau sejak berakhirnya perang melawan penjajahan, tak ada lagi nama baru yang bisa didaftarkan.

Pahlawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Dalam realita, setidaknya dilihat dari sejumlah tokoh yang telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional, pahlawan adalah seseorang yang berbakti kepada masyarakat, negara, bangsa atau umat manusia tanpa menyerah dan rela berkorban tanpa pamrih.

Di samping itu seorang pahlawan juga memiliki sikap dan sifat dasar yang terhormat. Yaitu, kepribadian yang terpuji, keluarga yang terhormat, kepedulian yang tinggi, kejujuran, kecerdasan dan keberanian yang teruji. Untuk keenam hal tersebut, seorang pahlawan jadi panutan, dihargai dan ditauladani. Begitulah pahlawan dalam pandangan masyarakat, baik pahlawan di medan perang, di bidang perjuangan politik, ekonomi, seni, teknologi, maupun di bidang agama, hukum, pendidikan dan sebagainya.

Pasca perang perjuangan kemerdekaan, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru, sebetulnya banyak tokoh penting yang tampil dan muncul di republik ini. Tapi ketika diantaranya diusung untuk diakui sebagai pahlawan muncul perdebatan dan bahkan pro kontra.

Yang diperdebatkan, terutama, mengenai bakti kepada masyarakat, negara, bangsa dan atau umat manusia dan berkorban tanpa pamrih. Kemudian soal kepribadian, keluarga, kepedulian, kejujuran, kecerdasan dan keberanian. Lihat misalnya perdebatan sekitar usulan pahlawan nasional bagi almarhum mantan Presiden Soeharto dan Abdurrahman Wahid.

Di Era Reformasi sekarang juga banyak nama tokoh yang muncul di tingkat nasional. Baik di bidang ekonomi/ perbankan, industri, ilmu dan teknologi maupun di bidang politik. Paling tidak sejumlah nama telah tampil sebagai pucuk pimpinan partai sebagaimana para tokoh perjuangan kemerdekaan yang diantaranya kemudian diakui sebagai pahlawan nasional.

Tapi melihat perkembangan pemimpin sekarang, khususnya para pemimpin politik, tampaknya perdebatannya akan lebih ribut lagi kalau misalnya kelak diusulkan jadi pahlawan nasional. Soalnya, publik meragukan apakah benar bakti, pengorbanan dan pengabdiannya kepada masyarakat, negara, bangsa dan atau umat manusia dilandasi rasa kebangsaan dan keikhlasan tanpa pamrih

Publik jadi ragu karena adanya kecenderungan para pemipin partai politik jadi pejuang untuk kelanggengan, memperkaya diri dan partai. Jika hakikatnya partai politik bertujuan merebut kekuasaan untuk membangun bangsa demi kesejahteraan rakyat dan kejayaan negara, nyatanya yang terjadi justru memperkaya partai, memperkaya diri dan keluarga, memperluas kolusi dan nepotisme. Akibatnya, kesejahteraan rakyat dan kejayaan bangsa itu menjadi terabaikan.

Apa yang terbaca di halaman media massa hari-hari ini adalah contoh yang gamblang. Tokoh nasional, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lutfi Hasan Ishak, kini berada dalam tahanan KPK karena disangka terlibat tindak pidana suap impor daging sapi. Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urba Ninggrum, kini juga berstatus tersangka dan belum ditahan KPK, karena dianggap terlibat pidana korupsi proyek gelanggang olahraga Hambalang.

Tokoh Partai Demokrat lainnya, Mantan Menpora Andi Malaranggeng, juga berstatus tersangka dalam kasus yang sama. Sementara bendahara Partai Demokrat Nazaruddin dan Wakil Sekretaris Anglena Sondak, malah sudah lebih dahulu dibui dalam kasus serupa. Beberapa tokoh nasional partai lain, seperti Amin Nasution dari PPP jauh lebih dulu ke penjara karena terbukti terlibat korupsi. Beberapa yang lain dicopot dari kursi DPR atau kursi partai karena terlibat kasus moral.

Di tingkat daerah, Kementerian Dalam Negeri mencatat dari Oktober 2004 hingga Juli 2012 sebanyak 17 (dari 33) gubernur dan 260 (dari 524) bupati dan walikota terlibat korupsi. Dan, masih akan ada yang menyusul. Sementara anggota DPRD, dari total 2008 anggota DPRD provinsi di seluruh Indonesia, 431 orang terlibat korupsi. Dari 16.267 anggota DPRD kabupaten/kota, 2.553 terlibat kasus korupsi. Angka itupun akan bertambah mengingat sejumlah anggota DPRD kini sedang dalam pemeriksaan penyidik.

Dari situ kita melihat perbedaan yang mencolok antara pahlawan perjuangan kemerdekaan dan calon “pahlawan” Era Reformasi. Di zaman perjuangan kemerdekaan seorang tokoh politik dipenjara karena memperjuangkan kebenaran, hak-hak rakyat demi bangsa dan negara. Sehingga, dipenjara menjadi klimaks dan uji keteguhan hati seorang pejuang dan dibanggakan. Tapi, kini justru tokoh politik dipenjara karena korupsi hak-hak (uang) rakyat, melanggar hukum, memperkaya diri atau partai, sesuatu yang dicela.

Berdasarkan gambaran itu, tentulah tokoh politik, apalagi pemimpin tertinggi partai, yang terlibat korupsi, kolusi dan kasus tercela lainnya, mustahil akan diakui kelak sebagai pahlawan. Maka, melihat kecenderungan itu buku pahlawan jadi tertutup, khususnya bagi pemimpin politik. Kecuali bila nanti korupsi tak lagi dianggap perbuatan pidana melainkan perbuatan mulia. (*) * Komentar Singgalang 03/05/2013".