Politik Vs Media, Yang Menang “Sing-Seng”

Eka Putra Nazir - Sekretaris PWI Riau
Oleh : Eka Putra Nazir, Sekretaris PWI Riau.

diterbitkan di minang terkini "11/10/2014"

POLITIK dan media punya hubungan khusus yang sulit dipisahkan. Ada yang bilang media adalah subsistemnya politik, atau sebaliknya politik adalah mainannya media. Ada juga yang mengatakan politik dan media seperti dua sisi mata uang: dempet dan sulit dipisahkan.

Bagi saya, politik dan media adalah alat kekuasaan belaka. Ia digunakan sebagai prasarana dalam rangka mencapai kepentingan. Oleh karena politik dan media alat kekuasaan maka dalam operasionalnya kedua alat ini akan bersinggungan dengan mereka yang suka maupun mereka yang tidak suka. Itu lumrah, niscaya, tak ada masalah. Sepanjang ia digunakan untuk kepentikan rakyat (baca: publik) maka politik dan media sah-sah saja bertindak “apa saja”.

Meskipun demikian, politik dan media juga dapat berselisih paham. Politik dengan kuasa yang ada padanya mampu memberangus media, atau paling tidak mengendalikan. Media dipaksa tunduk pada sistem yang dibuat politik. Keadaan ini bisa kita lihat di tengah kejayaan Orde Baru misalnya. Namun pada waktu yang lain lagi, media justru menjungkirkan kuasa politik dan mengatur politik untuk berbuat apa dan harus bagaimana. Politik seperti menjadi subsistem media dalam melaksanakan kuasanya

Situasi ini bisa kita simak pada awal reformasi, atau masa-masa transisi pemerintahan BJ Habibie. Banyak sekali keadaan yang dipotret orang-orang media lalu digerakkan melalui agenda setting mereka untuk dijadikan agenda publik. Berhasil, pemerintah mengakomodir agenda publik menjadi agenda pemerintahan.

Media dan politik, sekali lagi, adalah keniscayaan yang dijaga hidupnya, tumbuhnya dan berkembangnya di alam demokrasi nan luas ini. Apabila keduanya dikerdilkan, diberangus, atau dimatikan, tidak hanya demokrasi yang pupus, matahari pun akan padam!

Tulisan ini sebenarnya saya angkat dari kerisauan mutakhir yang amat dalam akan dua hal di atas, yakni politik dan media. Kerisauan itu bukan karena politik yang mau dikerdilkan atau media yang sedang dimatikan, tetapi justru sebaliknya: karena begitu digdayanya politik dan media di ranah NKRI belakangan ini. Karenanya adagium ‘hukum sebagai panglima’ tidak lagi berlaku. Panglimanya entah siapa, entah politik atau media, atau siapa. Yang pasti hukum sudah kehilangan kuasa tertingginya.

Pada skala nasional, kita baru saja menyaksikan pertempuran politik Indonesia yang maha-dahsyat. Persis seperti yang pernah diungkapkan Presiden SBY di penghujung tahun 2013 bahwa tahun 2014 adalah tahun politik, maka selama tahun 2014 kemarin, semuanya serba berbau politik. Sedangkan perilaku normatif saja disangkutpautkan dengan politik, apalagi perilaku media yang sebagian besar di antaranya terang-terangan memperlihatkan sikap politiknya. Sehingga tidak heran kalau selama tahun 2014, baik pada masa sebelum pilpres, setelah pilpres dan pada masa rekonsiliasi sekarang ini, yang bertarung tidak lagi antara Jokowi dan Prabowo, tetapi antara media pendukung Jokowi dan media pendukung Prabowo. Atau kalau boleh saya menyebut nama saja, antara MetroTv dengan TvOne!

Sampai sekarang, pertarungan masih belum nampak tanda-tanda berakhirnya. Kedua media bekerja sesuai agenda setting masing-masing, dan merebut pengaruh publik agar ia menjadi agenda publik. Tidak hanya kedua televisi, tetapi seluruh media pendukung capres masih saja melakukan “kerja-kerja politik” – yang tersistem.

Pada skala lokal pula, saya mendapati ada kesamaan sekaligus perbedaan. Di tempat kami Provinsi Riau, kebetulan pelaksanaan pesta demokrasinya sudah duluan selesai dibandingkan Pilpres 2014. Kalau Pilpres dilaksanakan September 2104, maka Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Gubernur Riau satu tahun sebelumnya, September 2013, sehingga Pemilukada berdiri sendiri tanpa pengaruh Pilpres. Namun, meskipun tidak terpengaruh Pilpres tetap ada kesamaannya, seperti yang saya sebutkan sebelumnya, yakni bau-bau politik uang. Sama juga dengan pelaksanaan Pemilihan Legislatif (Pileg) pada April 2014, juga sangat kental nuansa politik uangnya.

Pada pemilukada gubernur di Riau --media lokal sudah menamakannya sebagai Pilgubri atau Pemilihan Gubernur Riau-- kekuatan uang sangat menentukan pengaruh seorang calon terhadap masyarakat. Media massa pula menjadi komponen utama dalam menggerakkan mesinnya dalam rangka mendapatkan pengaruh tersebut. Media massa memperkenalkan sang calon, memberi ruang yang luas untuk bersosialisasi, sampai menjadi pengawal hasil pemilihan hingga benar-benar selesai. Selama media massa melaksanakan “kerja-kerja politiknya” sang calon harus terus menyediakan segala informasi yang dibutuhkan, termasuk kesediaannya menjadi aktor panggung demi mendapatkan peliputan yang berkualitas.

Disamping itu, suplai yang satu lagi dibutuhkan media massa realisasi kontrak kerja bisnis yang sudah diikat. Selalunya sang calon memasang iklan politik di media sampai pertarungan selesai, atau membeli koran dalam jumlah yang besar untuk dibagi-bagikan tim sukses kepada masyakat. Sang calon menunaikan pembayaran berdasarkan termin dan lunas sebelum pertarungan benar-benar usai. Tapi ini tidak mutlak, tergantung hubungan baik antara media dan calon. Tergantung kepada tingkat kepercayaan yang terjalin.

Dalam amatan saya, Riau punya karakteristik yang berbeda dengan daerah lain. Di Riau hampir tidak ada media massa yang fanatis. Selama otonomi berjalan dan pemilihan langsung digelar, praktisi media massa kebanyakan bermain aman. Keberpihakan tetap, tetapi tidak menyediakan dirinya sebagai media yang fanatik dengan calon tertentu dengan membunuh karakter lawan. Kebanyakan media mainstream hanya menjalin kerjasama iklan politik di surat kabar, radio dan televisi, dan memberi ruang sosialisasi yang luas. Berbeda dengan pertarungan di Pilpres, atau juga di daerah-daerah lain, di mana media massa berperilaku mirip dengan partai politik.

Saya pernah menanyakan hal itu kepada sejumlah petinggi media kenapa mereka tidak mau “all out”, kalau boleh saya ringkaskan jawabannya ada dua. Satu, praktisi media tidak mau mengambil risiko akan menjadi musuh lawan politik ketika nanti mereka menang dan menjadi penguasa. Yang kedua, memang bayarannya tidaklah begitu-begitu fantastis. Tidak cukup untuk berdiri sendiri ketika ditinggalkan kepala daerah terpilih --yang bisa saja memutuskan kontrak-kontrak halaman dengan media massa yang tidak ia suka. Secara umum, media massa di Riau hidup dengan kemampuan pengelolanya mencari dana membayar gaji dan operasional, bukan karena kemampuan finansial pemilik yang bersedia menyediakan dana yang “tidak tak terbatas”.

Dari kedua jawaban itu, sebenarnya saya masih punya jawaban ketiga. Dan terus terang, saya merasakan inilah jawabannya yang paling saya yakini kebenarannya. Yakni: pengelola media massa lokal masih punya nilai idealisme yang relatif lebih jujur dan realistis. Reputasi personal masih menjadi parameter penting untuk bisa bekerja lama di dunia pers lokal. Kalau mereka salah tidak ada orang di atas yang akan membela mereka. Justru oleh lingkungan ia akan ditinggalkan dan diperlakukan sebagai pecundang. Mana ada yang berani kalau sudah begitu. Seperti kata pepatah lama, “Sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak percaya”, maka pers lokal tidak melahirkan preman-preman jurnalis yang bersedia pasang badan untuk majikan politiknya.

Bisa jadi ungkapan teman saya Ahmad Rodhi, seorang pemimpin redaksi surat kabar lokal, benar adanya. “Kami (media massa) tidak mau dilaga-laga dengan kepentingan politik keras. Media ikut politik itu karena memang media kepentingan bisnis di tahun politik. Tetapi itu tidak perlu mengganti ruh jurnalistik dengan ruh politik,” katanya

“Kalau media diadu-adu dengan politik, kita akan selalu cakar-cakaran terus, dan yang menang Sing-Seng,” kata Rodhie lagi. Dalam kalimatnya Aseng kerap kita identikkan orang kaya dari kalangan Tionghoa. Sedangkan “Sing” pengganti kata “asing”. Pada politik pilpres kemarin saya yakin sarat kepentingan asing yang ingin mengendalikan sumber daya alam Indonesia, dan kepentingan Aseng yang ingin mengendalikan sumber daya manusia Indonesia. Istilah Melayunya, kapal pecah, hiu di laut yang kenyang

Kembali ke tingkat nasional, fenomena di Riau memang tidak ada apa-apanya. Di pusat permainan lebih kasar dan lebih ngeri. Jangankan penonton, sesama pemain saja sudah bergidik bulu kuduknya melihat gaya pertarungan yang dimainkan. Hampir tidak ada kata kalah, selalu ada jalan kemenangan. Makanya kebenaran dan pembenaran sudah tipis perbedaannya karena misinya adalah kemenangan. Di sana, di ranah jurnalisme yang telah menjelma menjadi medan pertarungan itu, dewa-dewa media massa saling unjuk kuasa dalam membina opini publik yang dikehendakinya. Indonesia seolah kecil bagi mereka, hampir tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.

Orang media seakan tidak lagi mengerti kode etik jurnalistik. Kalau sudah seperti ini susah sekali saya membedakan mana politik dan mana media massa. Apakah ini orang politik yang sedang menulis sebuah berita, atau ini orang media massa yang sedang berpolitik, tidak ngerti saya!***

Posting Komentar

0 Komentar