Sumpah Malin Kundang

Oleh H. Fachrul Rasyid HF
RUPANYA ada versi lain dari cerita Malin Kundang di Pantai Air Manis Padang. Selama ini Malin Kundang dikisahkan sebagai anak durhaka, lalu, setelah disumpahi sang ibu ia bersama istri, rombongan dan kapalnya berubah jadi batu. Rupanya yang jadi batu bukan dia melainkan sanak familinya. Malin sendiri bersama ibunya kembali ke rantau.

Versi baru itu menyebutkan, Malin adalah sebutan untuk anak yang baik, soleh dan taat. Dinamai Malin Kundang (dibawa-bawa) karena dia merupakan anak kesayangan yang selalu dibawa-bawa ibunya.


Alkisah, kala beranjak dewasa Malin bertekad mengubah nasib ibunya yang miskin, tak punya mamak kaya, tak punya pusaka sawah, ladang dan ternak. Malin pun merantau ke Pulau Jawa. Berkat niat baik dan do’a restu ibunya, usahanya cepat sukses. Awalnya ia cuma pedagang kaki lima. Tak lama kemudian ia mampu membeli beberapa toko. Singkat kata Malin kemudian menjadi kaya raya punya kapal sendiri dan sejumlah karyawan.


Seperti lazimnya lelaki Minang merantau, Malin pun menepati janjinya. Sejak menginjakkan kaki di Jawa, terus ia kirim ke ibunya. Bahkan apa saja barang berharga yang dianggapnya disukai ibunya, peralatan rumah tangga, perhiasan emas dan pakaian yang bagus selalu dikirim pulang. Belakangan Malin malah mengirim sejumlah uang untuk membangun rumah sesuai pesan ibunya.


Nah, merasa keadaan ibunya sudah berkecukupan dan terhormat, Malin menikahi seorang gadis Sunda yang cantik. Kemudian ia naik kapalnya sendiri berlayar ke Padang. Ia ingin mempertemukan istrinya dan ibunya. Tapi begitu sampai di pelabuhan, kala itu, di Air Manis, ia terhenyak lemas. Ia terkejut setengah mati melihat ibunya yang kurus dengan pakaian compang camping.


Seolah tak percaya, Malin memeluk ibunya seraya menangis. “Kok, co iko bana mandeh,” katanya meratap. Merasa curiga Malin buru-buru ke rumah. Ternyata rumah yang dibiayainya dari rantau dulu tak pernah dibangun. Ibunya masih tinggal di rumah bambu beratap rumbia. Semua harta benda yang dikirimkannya selama ini bukannya berada di rumah ibunya tapi melekat pada dunsanak-dunsanaknya.


“Rupanya aku dikibuli. Kirimanku selama ini tak pernah sampai kepada ibu,” bisik Malin. Tanpa pikir panjang ia dan istrinya memapah ibunya ke pelabuhan dan naik ke kapal. “Ibu harus ku bawa ke rantau. Sakit senang ibu harus di dekat ku,” katanya kesal sembari pamit kepada dunsanaknya.


Para mamak dan etek-eteknya melarang. Mereka mengejar Malin dengan sebuah kapal. Tapi Malin bergeming. Karena terus dikejar Malin bersumpah. ”Jo ia mato ambo hidupi mandeh ambo. Tapi kalian malah mangicuahnyo,” ujar Malin sembari mengakat tangan berdoa. Kapal yang dinaiki dunsanaknya itu pun berubah jadi batu. Itulah konon batu yang ada di Air Manis itu.


Meski hatinya terluka, toh, Malin punya prinsip. Anak dipangku keponakan dibimbing urang kampung dipatenggangkan. Karena itu ia tetap berkirim uang ke Padang. Ia juga mengirim zakat usahanya untuk orang kampung.


Ketika terjadi bencana alam, galodo, banjir dan bahkan untuk korban gempa 2007 lalu, Malin mengirim sejumlah beras, gula dan uang. Tapi kala tahu bantuan untuk korban gempa 2007 itu tak sampai ke tangan yang berhak, Malin pun Menyumpah” sehingga terjadi lagi gempa 2009.


Begitupun Malin Kundang masih terus mengirim bantuan hingga milyaran rupiah. Baginya, uang itu adalah bagian dari rezeki yang diterimanya dari Allah. Karena itu ia menganggap apa yang diinfakkannya berasal dari Allah. Yang menyelewenangkannya akan dikutuki Allah.
Kalau bantaun dari Malin tak juga sampai ke tangan korban gempa, bisa-bisa kita dikutuk sehingga berubah jadi manusia batu.(*)


Dimuat di Harian Pos Metro di Kolom Opini, 8 Febaruari 2010