Nasrullah Idris Bidang Studi : Reformasi Sains Matematika Teknologi |
SUDAH sering muncul isu tentang korupsi yang dilakukan politisi, pejabat, atau tokoh. Resonansinya menyebar secepat angin. Dalam waktu sekilat terekam pada masyarakat banyak. Namanya juga isu. Masih abu-abu. Faktanya belum jelas. Bisa salah, bisa benar.
Yang disayangkan adalah ketika hati menyikapinya tidak lagi sentral. Tidak menyerahkan pada fakta sebenarnya melalui investigasi dari pihak berwenang. Ada harapan subjektif yang tidak disadari, yakni kecenderungan agar investigasinya sesuai prasangka hati kecil. Artinya, senang bila terbukti benar dan kecewa bila ternyata salah. Di mana letak logika nuraninya? Seharusnya kan terbalik.
Bayangkan saja, apakah suasana kebatinannya sama bila pihak yang diisukan itu adalah sosok yang mempunyai kekerabatan dekat atau mengakomodasi kepentingan besar? Mungkin yang terjadi adalah luka yang mendalam atau ekspresi yang merengut. Wajah murung atau air mata tampak silih berganti. Mau berusaha menolong tapi tidak mampu karena fakta hukumnya memang bersalah.
Hati kecil merupakan pengadilan objektif terhadap perilaku seseorang. Penilaiannya cenderung objektif, berdasarkan norma yang ia ketahui sebagai kesepakatan bersama. Bebas pengaruh : hubungan batin, tingkat status sosial, atau bentuk rivalitas antara keduanya selama ini. Hanya nafsunyalah yang menggiring ke arah subjektivitas.
Membentuk keadilan hati tidaklah mudah. Untuk mencapainya terlebih dulu harus membebaskan diri dari segala bentuk “conflic of interest”. Ini memang tidak gampang. Namun bila sudah tercapai maka mudahlah menghasilkan sikap objektif, bak mudahnya menyikapi hasil perhitungan “10 + 10 = 20”, tanpa mempesoalkan, siapa yang menghitungnya. Tidak ada godaan lagi untuk melakukan pembenaran yang salah atau penyalahan yang benar.
Adanya atmosfir senang dalam hati saat melihat, mendengar, atau membaca kasus korupsi menimpa seseorang itu saja sudah merupakan penyimpangan nurani. Pertanyaan yang pantas diajukan, “Apakah harus demikian?”
Sangat berbeda dengan sesal, kecewa, atau sedih. Di sini masih muncul pertanyaan bernada rasa prihatin, “Mengapa peristiwa ini harus sampai terjadi?”
Yang sangat ironis lagi bila memandang kasus korupsi sebagai infotainment. Malah tanpa sengaja menjadikannya sebagai sumber hiburan. Mungkin karena fakta inilah sehingga sering menjadi berita utama. Apalagi bila pelakunya adalah artis, tokoh, atau politisi yang namanya masuk dalam level nasional.
Sinetron bisa dijadikan sosok analoginya. Meskipun berbagai pihak rajin mengkampanyekan cinta damai, tapi bila disuguni drama televisi tanpa : nuansa konflik, cemburu cinta, atau intrik bisnis, akan terasa jenuh juga, lalu pindah ka channel lain. Sementara produser akan berpikir dua kali untuk menayangkan skenario yang penuh damai. Pasalnya akan ditinggalkan para sponsor atau tidak akan bernilai jual.
Bagaimanapun bencinya terhadap praktik korupsi, karena hanya akan menggrogoti aset negara dan menyengsarakan rakyat banyak, namun bahagia di atas penderitaan terpidana merupakan perilaku yang keliru.
Lebih baik menjadikan mereka yang sudah tertangkap karena melakukan korupsi sebagai referensi dalam menyampaikan nasihat, pidato, atau diskusi. Siapa tahu akan menciptakan rasa jera pada pendengar yang belum pernah atau hampir saja melakukannya. Kemudian diakhiri dengan doa, agar setelah berakhirnya masa tahanan, mereka benar-benar tidak mengulanginya lagi. Ini kan bermanfaat. Bernilai ibadah juga.
Dalam sejarah sering tercatat, bagaimana seorang politisi menyikapi lawan politiknya yang korupsi dengan hati sentral. Di satu sisi bersedih karena terhentinya pertemanan. Di sisi lain memaklumi hakim mengvonisnya bersalah. Bukan itu saja. Mereka mampu memisahkannya dengan urusan kompetisi dalam politik. Bisakah sosok ini kita tiru?
diterbitkan di media terkini pada "01/06/2015".
0 Komentar