Syaful Guci |
HAMPIR sebagian orang minang tahu bahwa “tambiluak” adalah nama hama serangga artona, yang merupakan salah satu hama penting bagi budidaya tanaman kelapa dan enau. Serangga yang tergolong dalam family Zyganidae dan ordo Lepidoptera ini hidup dengan melewati 4 fase dalam siklus metamorfosisnya, yakni telur, larva (ulat), kepompong, dan imago (serangga dewasa).
Akan tetapi dalam tulisan ini, kita tidak mengulas tentang serangga tersebut, tetapi tentang seeorang bernama Tambiluak yang terkait dengan peristiwa sejarah yang terjadi tahun 1949 lalu di Nagari Situjuah Batua, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota.
Sebagaimana biasa, tepat pada tanggal 15 Januari, masyarakat Limapuluh Kota bersama pelaku sejarah selalu memperingati hari Peringatan Peristiwa Situjuah, hari ini adalah peringatan yang ke-66. Apabila kita tanya kepada yang tua-tua, hampir semuanya menyatakan bahwa Peristiwa Situjuah adalah sebuah peristiwa pengkhianatan seorang Tambiluak.
Tambiluak nama aslinya ialah Kamaluddin yang berasal dari Padang Panjang. Ia bertubuh pendek dan gempal dengan kulitnya agak hitam. Orang Minang menyebut ukuran tubuh seperti itu dengan istilah ’Sabuku”. Di zaman Belanda sampai pendudukan Jepang Kamaludin bekerja sebagai tukang gunting di pangkas rambut Sutan Kerajaan Barbier, yang terletak di Jalan Gajah Mada Payakumbuh ( terakhir jalan Gajah Mada ini dimasukan kedalam Jalan Arisun ).
Layaknya tukang gunting, Kamaluddin Tambiluak memiliki banyak pelanggan. Salah satu pelanggannya adalah Dokter Anas. Menurut cerita HC Israr (Singgalang 6 Februari 1996), Dokter Anas adalah Hoofd Bestuur Voetbal Vereniging Horizon dimana Kamaluddin merupakan ”Sayap Kanan” paling kesohor dari Horizon yang larinya kencang bagaikan kilat.
Karena itu dia dijuluki ”Tambiluak” atau sejenis serangga berwarna hitam kekuningan yang bisa terbang kencang dan hidup pada pohon kelapa atau aren. Kesebelasan Horizon sendiri tercatat sebagai klub tangguh dari Payakumbuh yang tergabung dalam Bond Eleftal (Bond Kesebalasan).
Dr.Anas tercatat sebagai bekas Kepala Rumah Sakit Payakumbuh. Dia asli pribumi Indonesia, tapi gaya dan pola pikirnya, sangat kebelanda-belandaan. Dialah intelektual yang pernah mempelopori berdirinya negara ”Minangkabau”. Ketika ide negara ”Minangkabau” ini diusungnya, Dokter Anas mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Belanda. Bahkan, dia dipersiapkan untuk menjadi calon Kepala Negara. Tapi ide negara ”Minangkabau” itu kemudian ”mati dalam kandungan” menyusul dengan tercapainya persetujuaan antara Indonesia-Belanda di Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949.
Selepas persetujuan itu, Dokter Anas langsung memboyong istrinya Jus Anas untuk bertolak ke negeri Kincir Angin Belanda. Pasangan yang tidak mempunyai anak itu meninggal disana.
Ketika dilaksanakan Kongres Pemuda Indonesia, 10 Nopember 1945 di Yogyakarta, Payakumbuh mengirimkan 3 orang pemuda untuk menghadirinya. Mereka adalah Oesman Sayoon, Bakri dan Kamaluddin Tambiluak.
Waktu kembali pulang ke Payakumbuh, dari Jakarta di atas kapal Kamaluddin bertemu seorang gadis remaja bernama Nur Cahaya yang asli Payakumbuh. Gadis ini kemudian dipersunting Kamaluddin Tambiluak menjadi istrinya. Setelah kemerdekaan Kamaluddin Tambiluak menjadi serdadu pada Bagian Perlengkapan dan Pengangkutan (P&P) Batalyon Singa Harau pimpinan Mayor Makinuddin HS.
******
Ada yang bependapat bahwa Kamaluddin Tambiluak adalah seorang Pengkhianat dan ada juga yang berpendapat dia adalah Pahlawan. Betulkah dia seorang pengkianat, sebagaimana cerita yang beredar dari mulut ke mulut. Atau jangan-jangan Tambiluak cuma seorang pahlawan bangsa yang menjadi korban hukum revolusi?
Dua pendapat ini memang seperti mata uang berlainan. Selalu terjadi silang pendapat hebat dan mungkin tidak pernah berkesudahan untuk dijawab. Satu sisi, banyak pejuang dan saksi sejarah dalam Peristiwa Situjuah yang menyebut Tambiluak benarlah seorang pengkhianat bangsa. Bahkan, sebelum insiden berdarah terjadi di Situjuah Batua tepatnya tanggal 13 Januari 1949, seorang anggota Badan Penerangan bernama Syamsul Bahar yang menerima tugas darurat dari komandannya, dilaporkan bertemu dengan Kamaluddin Tambiluak.
Dalam pertemuan itu Kamaluddin mengajak Syamsul Bahar, agar datang dalam rapat penting tanggal 15 Januari 1949. Karena sudah pernah mengenal Tambiluak semasa ikut Kongres BKPRI di Yogyakarta, pada tanggal 14 Januari 1949, Syamsul Bahar ikut berangkat ke Situjuah dan sampai malam hari sekitar pukul 19.00 WIB.
Bersama rombongan, dia langsung masuk ke surau milik Mayor Makinuddin HS. Rupanya, dalam surau itu sudah penuh dengan pejuang yang melepas lelah. Karena kondisi tersebut, Syamsul Bahar pindah ke sebuah bangunan yang merupakan surau usang. Dia bermaksud istirahat sejenak, menjelang ikut rapat. Tak tahunya di halaman surau yang gelap, ada seorang lelaki bermenung diri.
Awalnya, Syamsul Bahar dan kawan-kawanya, tidak menghiraukan lelaki tersebut. Tapi ketika Syamsul Bahar hendak menjemput barangnya yang masih ketinggalan di Surau Makinuddin, dia mencoba mendekati lelaki yang bermenung diri. Ternyata orangnya adalah Kamaluddin Tambiluak. Merasa kaget dengan prilaku Kamaluddin, Syamsul Bahar lalu menanyakan gerangan apa yang membuat Kamaluddin bermenung diri. Tapi, Kamaluddin hanya menjawab dingin:”Ah, tidak ada apa-apa!”.
Perubahan sikap Kamaluddin yang sangat drastis ketika berada di Lurah Kincia, ternyata tidak hanya dirasakan oleh Syamsul Bahar menjelang rapat di Situjuah. Ketika rapat selesai, Tambiluak juga berpirilaku aneh dan ganji. Waktu itu para pejuang baru saja salam-salaman dan bermaksud hendak istirahat di Surau Makinuddin.
Ketika para pejuang mulai beristirahat, ada seseorang lelaki yang sangat antusias bercerita tentang kemenangan Belanda dan kekalahan Indonesia. Dia bahkan tertawa terbahak-bahak menceritakan itu. Syamsul Bahar yang sedang ”tidur-tidur ayam” kaget bukan kepalang mendengar cerita tersebut. Entah serius, entah berkelakar, yang jelas seumur-umur menjadi pejuang, baru kali itu Syamsul Bahar mendengar ada pemimpin dan tentara yang dengan gembira memuji musuh bernama Belanda.
Maka, timbullah tanda tanya besar di hati Syamsul Bahar. ”Siapa orang yang bercerita itu? Adakah sebuah keseriusan yang ia ucapkan?” Lalu, Syamsul yang tidur beralaskan tikar usang dan berselimut kain sarung sendiri, mengintip orang tersebut. Di balik remangnya lampu cogok (tradisionil), Syamsul bahar melihat dengan jelas wajah orang itu. Ternyata dia adalah Kamaluddin Tambiluak.
******
Situjuh Batua adalah suatu tempat dalam Kabupaten Lima Puluh Kota, terletak di kaki gunung Sago dengan sebuah lurah sempit ditepi padang lengang yang didalamnya mempunyai sebuah kincia padi milik Makinuddin HS, letaknya ±12 km dari pos tentera Belanda dari Kota Payakumbuh. Dimana peristiwa duka tersebut berawal dari adanya pertemuan oleh pemerintahan Militer Sumatera Barat, yang akan direncanakan diadakan dimulai pada tanggal 13 Januari 1949 bertempat di Situjuah Batua, yaitu suatu rapat gabungan untuk menyusun pertahanan di Sumatera Barat secara menyeluruh.
Dalam pertemuan itu diharapkan hadir tokoh-tokoh Sumatera Barat mulai dari Gubernur Militer sampai ke camat-camat Militer, dari Panglima Sub Terri-torium sampai kepada komandan-komandan front, beserta tokoh-tokoh lainnya yang di anggap penting.
Beberapa masalah yang akan dibahas dalam pertemuan tersebut antara lain adalah: (1) Koordinasi pemerintah dan kekuatan serta menentukan strategi dan siasat perjuangan selanjutnya untuk melawan Belanda. (2) Karena Kota Payakumbuh dan Bukit Tinggi telah diduduki Belanda sejak Agresi II Desember 1948 dan (3) Untuk membalas penyerangan Belanda pada pusat PDRI di Koto Tinggi pada tanggal 10 Januari 1949 yang telah mengorbankan 9 syuhada di Titian Dalam.
Sesuai dengan hasil keputusan rapat di Koto Kaciak telah menetapkan Nagari Situjuah Batur sebagai tempat rapat bagi para pemimpin PDRI. Makinuddin HS setelah kembali dari Koto Kaciak, bersama dengan pimpinan lain berusaha mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan rapat pemimpin Sumetera Barat yang akan di laksanakan pada malam harinya. Persiapan dibantu oleh anaknya Khairuddin Makinuddin.
Pada malam tanggal 14 itu telah berkumpul disana para pemimpin pemerintahan, ketenteraan dan organisasi-organisasi. Perundingan belum dimulai pada malam itu, karena harus beristirahat karena lelah dari berjalan kaki puluhan km bahkan ada yang ratusan km.
Rapat yang dilaksanakan tersebut dihadiri oleh sekitar 50 orang, diantaranya Khatib Sulaeman, Arisun St. Alamsyah , Letkol Dahlan Ibrahim, Major A. Thalib, Letkol Munir Latif, Mayor Makinuddin, Mayor Mainuddin, Kapten Tantawi, Lettu Azinar. Pada tanggal 14 Januari 1949 , rapat dimulai tepat pukul 23.00 WIB, di pimpin oleh Chatib Sulaeman selaku ketua MPRD.
Rapat berjalan dengan lancar sekitar tiga setengah jam, rapat tersebut telah dapat menghasilkan beberapa keputusan, antara lain: Para pejuang harus menyerang kota Payakumbuh dari segala jurusan dan berusaha mendudukinya. Aktifitas itu meyakinkan dunia luar bahwa bangsa Indonesia tetap berjuang mengusir penjajah, karena pihak Belanda telah menyiarkan bahwa Indonesia telah diamankan. Mengatur dan menyempurnakan persenjataan dan logistik di setiap komando pertempuran. Mengorbankan semangat perang gerilya di dada masyarakat dan menanamkan rasa benci terhadap penjajah .
Setelah selesai rapat, sebagian ada yang meninggalkan tempat rapat dengan segera karena banyak tugas yang harus diselenggarakan sedangkan sebagian lainnya beristirahat sampai sembahyang subuh. Kebanyakan pemimpin tertidur dengan nyenyaknya tanpa rasa khawatir karena pasukan pengawal telah disiapkan sebelumnya.
Tanpa disadari oleh mereka, rupa-rupanya Belanda telah mengetahui adanya rapat tersebut. Dan hal itu merupakan kesempatan yang paling baik bagi Belanda untuk menangkap pemimpin-pemimpin Republik Indonesia.
Pasukan Belanda itu bergerak dari Payakumbuh mengepung Lembah Situjuah dari empat jurusan : Melalui Limbukan – Situjuah Banda Dalam. Melalui Padang Jariang – Situjuah Gadang. Melalui Tangah Padang – Bumbung. Melalui Piladang – Tungka.
Tentara kita yang ditugaskan untuk menjaga sekitar tempat itu tidak mengetahui kedatangan Belanda karena para pengawal telah tertipu oleh seorang kaki tangan musuh yang ada dalam tentara itu sendiri.
Akhirnya peristiwa tragis yang tidak bisa kita lupakan itu terjadilah. Di waktu subuh serombongan peserta yang terdiri dari Abdullah, Syamsul Bahar, Arifin Alip, Dt. B. Gagok, Yahya Jalil, dan Sidi Bakaruddin, mendengar suara dari seorang penjaga yang mengatakan adanya Belanda.
Dengan cepat turunlah rombongan itu dari rumah berjalan beriringan di tepi sebuah tebat dan berjumpa dengan Mayor Makinuddin HS, yang sedang mengambil wuduk. Sementara itu rombongan melihat dua orang berpakaian seragam tegak lurus seperti “patung“. Serta merta rombongan memberi kode, dan dijawab oleh kedua patung itu dengan gerakan yang berbeda. Melihat keadaan itu rombongan itu lari, kedua patung itu mulai melepaskan tembakan dan terdengarlah letusan pertama di pagi subuh itu.
Pintu-pintu keluar dari lurah tempat pertemuan itu telah dijaga oleh pasukan Belanda. Walaupun demikian sebagian dari peserta dapat meloloskan diri dengan melompat tebing yang cukup tinggi. Diantaranya lolos adalah rombongan Abdullah, Makinuddin Hs. A. Thalib, Dahlan Ibrahim dan lain-lain.
Waktu A. Thalib melompat ia ditembak oleh Belanda sehingga kena kakinya dan tidak dapat lari lebih jauh. Untung ada semak-semak yang cukup rimbun sehingga ia dapat bersembunyi dan berlindung dari peluru dan bayonet Belanda. Syamsul Bahar yang tidak mungkin melompat lagi mencari perlindungan di bandar kincir yang tidak berair dengan menutupi tubuhnya dengan tangkai-tangkai padi yang kebetulan teronggok di sana.
Sebagin besar dari peserta tidak dapat menyelamatkan diri. Karena tidak mungkin lari atau bersembunyi lagi diputuskan untuk berjibaku dengan menggunakan apa yang ada. Yang mempunyai pistol akan mempergunakan pistolnya, dan yang tidak bersenjata akan berkelahi sampai titik darah yang penghabisan. Peristiwa Situjuah, 15 Januari 1949 menelan korban 69 orang, termasuk sejumlah pemimpin, pejabat sipil dan perwira, terjadi akibat penghianatan Tambiluak.
Pada tanggal 23 Januari 1949, Ketika terjadi pertemuan di daerah bernama Aia Randah, antara Let Kol. Dahlah Ibrahim, Komandan Sub Teritorial Sumatera Barat dengan Syofyan Ibrahim, dan sejumlah para pejuang bangsa. Dalam pertemuan, Dahlan Ibrahim mendengarkan laporan tentang peristiwa Situjuah. Dari semua laporan, diperoleh benang merah, bahwa Letnan Satu Kamaluddin Tambiluak memang telah menjadi pengkhianat. Karenanya, dia harus diadili!
Let Kol. Dahlah Ibrahim mengeluarkan perintah untuk menangkap Tambiluak hidup atau mati. Ketika pertemuan sedang dilangsungkan, Kamaluddin Tambiluak berada di Gaduik. Karenanya, untuk mengorek keterangan Tambiluak, peserta rapat sepakat, kalau dia harus dijeput. Sebagai dalih, dikatakan bahwa rapat akan dilanjutkan ke daerah Padang Mangateh, dan Tambiluak diminta kehadirannya. Rupanya, ide peserta rapat ini termakan pula oleh Tambiluak.
Namun Tambiluak dapat lolos dari usaha pembunuhan dari terhadap dirinya, disuatu tempat disebuah rumah tempat tinggal seorang dokter hewan di Padang Mengatas. Dari dalam rumah, Tambiluak akhirnya mulai diinterogasi. Ditanya ini dan itu. Namun dia justru ”dianggap” menjawab dengan bertele-tele.
Tak lama kemudian, Tambiluak dipanggil ke luar rumah oleh seseorang. Belum sampai di luar rumah atau baru tiba di pintu. Seorang bernama Tobing, tiba-tiba tak bisa menaha emosi. Diserangnya Tambiluak dengan golok. Ditebasnya bagian kepala itu hingga tinggal rambut di golok. Serangan untuk Tambiluak ternyata tidak tepat sasaran ia melawan dan berhasil melarikan diri pada subuh 24 Januari tersebut ke arah Koto Nan Ampek Kota Payakumbuh.
Dalam catatan C.Israr bahwa sore harinya 24 januari Kamaluddin Tambiluak bertemu dengan Letnan I Nurmatias dan pembantu Letnan Syamsir Rauf serta Amiruddin Hamidy dibawah pohon beringin dekat balai adat Balai Nan Duo.
Melihat luka dipundaknya yang cukup parah dan darah sudah membeku. Nurmatias menyarankan kepada Tambiluak supaya berobat kedalam Kota Payakumbuh. Tetapi Tambiluak menolak dan mengatakan akan pergi ke kampungnya. Kemudian Nurmatias menasehatkan supaya tambiluak pergi ke Kamang menemui Letkol dahlan Djambek untuk melaporkan peristiwanya. Nasehat itu diterimanya.
Pada malamnya Tambiluak, Nurmatias, Syamsir Rauf dan Amiruddin Hamidy tidur di sebuah rumah kecil di tepi jalan besar di dekat Mesjid Ihsan. Besok paginya mereka berpisah dan tambiluak melanjutkan perjalanannya menuju Kamang. Tidak beberapa hari kemudian terdengar berita bahwa dalam perjalannya pelariannya, Tambiluak disergap dan dibunuh oleh pasukan Panah Beracun yang merupakan bekas anak buahnya sendiri, di kawasan Padang Tarok.
*****
Kini, Kamaluddin Tambiluak memang telah tiada. Stigma pengkhianat, melekat pada tubuhnya. Tapi, di balik kematian Tambiluak, sekarang justru muncul berbagai kontraversi. Bahkan, ada yang berani menyebut Tambiluak juga pahlawan. Adalah Haji Khairuddin Makinuddin, putra mantan Wedana Militer Payakumbuh Selatan, yang menilai Tambiluak tidak bisa disebut sebagai pengkhianat di balik peristiwa Situjuah.
Sebab menurut Haji Khairuddin Makinuddin, beberapa hari menjelang tanggal 15 Januari 1949, pesawat capung alias helikopter milik Belanda, telah berputar-putar di sekitar Lurah Kincia. Kemungkinan besar, awak pesawat tersebut sedang mengawasi kegiatan yang dilakukan warga dan pejuang.
Selain alasan tersebut, Haji Khairuddin Makinuddin menganalisa, bisa jadi Tambiluak dicap sebagai pengkhianat, karena faktor kecumburuan sosial. Alasannya, secara ekonomi Tambiluak memang lebih mapan dari beberapa pejuang. Sebab sebelum Agresi Belanda Kedua, sosok yang pernah menjadi Wakil Kepala Intelijen Sumatera Tengah ini, pernah dipercaya untuk menukar getah dan candu dengan senjata ke Singapura.
Kamaluddin Tambiluak berangkat menaiki kapal lewat ke Sungai Siak. Namun kemudian, getah dan candu yang dibawah Tambiluak tidak jadi bertukar dengan senjata. Karena dia dicegat oleh kapal patroli Belanda yang ada di Sungai Siak. Bisa candu dan getah yang dibawa Tambiluak, tidak dia setorkan seluruhnya atau dijual. Sehingga dia memiliki sisa barang berharga itu sebagai tambahan hidup. Karenanya, tentu saja akan ada pejuang yang mengalami kecemburuan sosial.
Sejarahwan UNP DR.Mestika Zed dalam harian Singgalang, 15 Januari 1996 menyatakan,”Tambiluak bukanlah pengkhianat”. Ditegaskan Mestika Zed, tidak ada data kuat yang menunjukkan, bahwa Tambiluak adalah seorang pengkhianat dalam Peristiwa Situjuh Batua 15 Januari 1949. Karena itu hanya sebatas isu yang kemudian sengaja dibesar-besarkan.
Untuk mendukung pendapatnya, Mestika dalam tulisan itu memunculkan argumen dengan teori dan logika. Dia menjelaskan, bahwa ketika pagi-pagi Peristiwa Situjuah terjadi, Tambiluak lari mencari Dahlan Jambek di Kamang (Pimpinan Militer Sumbar paling disegani saat itu). Dan karena isteri dan anaknya sudah dihabisi oleh tentra (TNI). Ia lari untuk menyelamatkan diri. Logikanya, setelah istri dan anaknya dihabisi, pasti giliran dia berikutnya. Begitu sampai di Baso, tembakan Belanda merenggut nyawanya.
Akhirnya, terlepas dari berbagai versi di atas,YPP-PDRI 1948-1949 dengan Ketua Umum Drs.N.Ben Yuza dan Sekretaris Ferizal Ridwan akan mengelar Dialog Kebangsaan Membumikan ‘Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 Sebagai Mata Rantai PDRI 1948-1949 Penyelamat Republik dan Gerakan Nasional Bela Negara”, pada hari Sabtu 17 Januari 2015, Pukul08 WIB sd 12.15 WIB, bertempat di Kampus IPDN Regional Sumatera Barat di Baso Kabupaten Agam. Menampilkan sejumlah narasumber, diantaranya sejarawan DR. Wannofri Samri.M.Hum (Ketua MSI Sumbar), pelaku sejarah H.Khairuddin Makinuddin dan Mansyur Dt.Panghulu Mudo, serta Pakar Hukum H.Wendra Yunaldi SH.MH. Ayo kita hadiri bersama-sama.
Saiful Guci - Pulutan "01/15/2015".
0 Komentar