Catatan : Febby Dt Bangso Nan Putiah



BUKITTINGGI,MINANGTERKINI,- Jika 65 tahun lalu Sutan Syahrir sudah dipercaya menjadi chief minister di usia 37 tahun, tentu mestinya semakin maju dan semakin modern negeri ini, semakin banyak pemimpin muda yang berkibar dikancah perpolitikan di tanah air. Indikatornya tingkat dan kualitas pendidikan lebih baik, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan pun juga terbuka lebar bagi semua kalangan.

Jumlah sekolah serta universitas serta persebarannya mulai merata sampai ke daerah-daerah, apalagi sekarang ini undang-undang mengamanatkan penyelenggara negara untuk mengalokasikan minimal 20% dari anggarannya untuk sektor pendidikan. Tapi, kenyataan berbeda dengan harapan. Malah semakin hari pemimpin kita malah banyak didominasi oleh kaum tua.

Di lapangan, sepertinya mulai dimengerti bahwa politik dipahami sebagai dunia yang jahat, dunia yang keras, dunia yang penuh tikung-menelikung dan mempunyai konsekwensi yang juga maha dashyat jika seseorang tidak bisa memenangkan idelisme serta patron yang diusungnya. Makanya, tidak banyak anak-anak sekarang yang bercita-cita jadi politikus, tidak banyak orang tua yang merestui anak-anaknya berkarir diranah politik.

Politik dipahami sebagai milik kaum borjouis, dikuasai oleh para pemilik modal dan hanya diikuti oleh kaum opurtunis yang mungkin menjadikan dunia politik sebagai ajang coba-coba cari peruntungan. Istilah kerennya mungkin kok lai ka lai, entah lah.

Dibalik itu semua, fenomena pemilihan Presiden Indonesia tempo hari ternyata telah membuka mata banyak kalangan. Bahwa politik itu jahat, keras, penuh tipu muslihat dan seterusnya ternyata tidaklah seratus persen benar. Komitmen untuk melakukan perubahan dan membuat Indonesia lebih baik melalui managerial serta sistim pemerintahan yang lebih baik telah diproklamirkan untuk membuat negri ini maju serta berjalan lebih cepat mengiringi kemajuan zaman.

Sistim pemerintahan dirancang berdasarkan standar yang jelas serta terukur melalui e-government system. Sebuah sistim baru yang mengeliminir dan meminimalisir penyelewengan dan penyalah gunaan wewenang yang didasarkan oleh keberanian untuk berbuat, bertindak dan mengeksekusi perencanaan.

Dulu, siapa yang mengira Tanah Abang tidak bisa dibersihkan dari karut marut persoalan pedagang kaki lima, siapa sangka waduk pluit yang telah dipenuhi oleh enceng gondok dan pinggirannya dipenuhi oleh gubuk liar bisa ditertibkan dan dibuat taman sehingga menyegarkan mata sekaligus bisa dijadikan ruang dan taman bermain publik yang menyehatkan jiwa penghuninya yang sekarang dipindahkan ke rumah susun bertingkat.

Mungkin juga sekarang masih banyak yang pesimis melihat amburadulnya lalu lintas ibukota akibat kemacetan akut. Tapi yakin lah sebentar lagi perubahan akan datang, bukan kah proyek MRT yang sudah puluhan tahun direncakan sekarang sudah mulai dikerjakan. Yang mengerjaklannya adalah orang biasa, bukan keturunan ninggrat bukan juga keturunan keluarga kaya. Intinya, yang penting adalah keinginan untuk berkomitmen membuat perubahan.

Refleksi yang sama juga terasa dibelahan dunia lain, seperti fenomena yang pada dua dekade lalu sebagai lanjutan dari glasnot and perestrokia-nya Rusia mengubah dunia dari cengkraman aliran komunis yang tak kunjung berhasil membuktikan kemanjuran sistemnya dan akhirnya ditinggalkan. Sekarang lihatlah, seorang wanita yang pada masa kecilnya pernah menjadi penakik getah dan bekas pembantu Maria Silva Vaz de Lima maju sebagai penantang utama Dilma Rouseff. Dia mendapatkan wild card setelah kandidat utama di partainya Eduardo Campos meninggal dunia dan dia juga ingin membuktikan bahwa orang biasa pun bisa menjadi pemimpin asal mempunyai komitmen yang kuat untuk berubah dan berani melakukannya!

Ayo berubah demi ‪#betterbukittinggi‬ ‪#FebbyForBukittinggi

diterbikan di Minang Terkini "08/11/2015"

Posting Komentar

0 Komentar