Lima Tahun Sumbar Ke Belakang dan Ke Depan


Opini Muhammad Yusuf el-Badri

Tak terasa, masa kepemimpinan Irwan-Muslim Kasim sudah berakhir. Entah karena perjalanan waktu yang terlalu cepat atau memang tak ada yang perlu dirasakan selama lima tahun belakangan sebagai karya kepemimpinan mereka. Entah lah. Kini, kedua petinggi Sumbar, itu kembali mencalonkan diri. Hanya mereka berdua yang bertarung, yaitu pertarungan mantan gubernur dan wakil gubernur. Bedanya, mereka didampingi teman baru. Irwan didampingi oleh Nasrul Abit dan Muslim Kasim di dampingi oleh Fauzi Bahar.   

Perpisahan yang akan terjadi ini, tentu menjadi pertanyaan bagi masyarakat sendiri. Kenapa mereka memilih jalan berbeda setelah bersama selama lima tahun? Apakah ini pertanda hubungan mereka tidak harmonis? Atau sang wakil merasa tak sejalan dengan gubernur selama lima tahun sehingga juga ingin pula menjadi gubernur? Atau keduanya sama haus kuasa, sementara gubernur sekarang tak bersedia menjadi wakil secara bergantian untuk lima tahun mendatang? Tentu pertanyaan ini akan dianggap bodoh oleh sebahagian orang. Namun  bagi saya ini harus dicurigai sebagai modal memilih gubernur untuk lima tahun mendatang. Agar gubernur yang akan datang tidak hanya dipilih berdasarkan senyuman di pepohonan tapi benar-benar berdasarkan perhitungan yang matang. Masyarakat berhak mengetahui pertimbangan dan alasan itu.

Selain perceraian, hal lain yang menarik adalah mempertanyakan prestasi pemerintahan di bawah kepemimpinan Irwan dan Muslim Kasim. Tiga tahun pertama pemerintahan IP-MK sama sekali tek terasa kehadirannya. Dan paling santer adalah satu tahun belakangan, terutama bidang pendidikan.  Buktinya, tak sedikit siswa yang terjun ke dunia hitam bahkan juga ada mahasiswa yang bunuh diri gara-gara tak mampu memikirkan biaya perkuliahannya.

Apaboleh buat, hidup sesuai dengan retak tangan masing-masing. Kadang anak-anak nagari yang hidup di ratusan dusun di Sumatera Barat, yang telah menyelesaikan pendidikan dasar dan smp/setingkat, hanya bisa bersyukur dengan kondisi mereka. Hal itu mereka lakukan karena tak ingin terjadi hal yang macam-macam. Namun demikian, sebahagian dari mereka tidak sanggup lagi untuk bersyukur. Hingga akhirnya memilih untuk bunuh diri di akhir masa perkuliahannya bahkan ada mahasiwa perempuan yang memilih menjual ‘apam’nya di malam hari. Ini adalah realitas yang terjadi yang tak terbantahkan.

Dari satu sisi pendidikan ini, dapat dilihat bahwa pemerintahan telah gagal memimpin Sumatera Barat selama lima tahun ini. Belum lagi jika dikaji dari sisi lain. Sebab, sedari awal pencalonan diri pada tahun 2009, mereka berjanji akan memajukan pendidikan. Janji mereka ketika itu seperti angin segar bagi orang tua yang ingin anak-anaknya tidak hanya menjadi sarjana tapi juga profesor. Apalagi keduanya ketika itu adalah Datuak yang dianggap ‘terpercaya’. Ternyata setelah lima tahun berjalan, tak ada hasil apa-apa selain janji yang telah usang. Selama lima tahun itu pula tak terdengar ada program beasiswa untuk anak-anak yang hidup diberbagai nagari. Baik beasiswa setingkat SD, SMP, SMA  apalagi setingkat perguruan tinggi S1, S2  dan S3.

Jika ada yang mengatakan bahwa SD, SMP sudah ditanggung pemerintah, jadi tak perlu lagi ada beasiswa. Ini adalah pernyataan untuk mulut yang tak pernah sekolah dan asal bunyi saja. Sebab biaya pendidikan bukan hanya spp, tapi juga buku. Demikian pula dengan perguruan tinggi,  sudah ada beasiswa untuk mahasiswa berprestasi dan tidak mampu. Siapapun tahu bahwa lebih dari separuh masyarakat Sumbar hidup dalam kondisi ekonomi miskin. Sementara dana beasiswa itu tak menampung seluruh mahasiswa tak mampu. Sekali lagi dari aspek pendidikan, tak terlihat peran pemerintah. Demikian pula tingkat ketercapaiannya. Kini kedua petinggi Sumbar itu kembali mencalonkan diri, apa yang bisa kita harapkan?

Ibarat makan buah simalakama, ikut memilih atau tidak sama-sama akan menanggung kerugian dan harapan kosong. Sama dengan lima tahun silam, janjinya juga banyak, demikian juga dengan pencitraannya yang luar biasa. Untuk pemilihan kali ini sama sekali tidak ada pilihan alternatif. Nampaknya peran partai kali ini tidak menjawab suara masyarakat Sumbar, tetapi memaksakan keinginan mereka pada masyarakat. Siapa pun yang terpilih nanti, nasib Sumbar akan tetap sama.

Apakah ini nada pesimis? Sama sekali tidak. Sejarah telah membuktikan makan tangan kedua orang calon gubernur itu selama lima tahun terakhir. Walaupun ada calon wakil gubernur sebagai ‘orang baru’, tupoksinya ada di tangan gubernur. Meski idenya bagus, gagasannya hebat, jika gubernur hanya menjadikannya sebagai ban serap, hasilnya sama saja. Malanglah masyarakat Minang yang bermimpi ingin berubah.

Wallahu a’lam.

Posting Komentar

0 Komentar