Jakarta, Sabtu
(10/2018).
Revolusi Industri
4.0 memaksa sebuah bangsa untuk melakukan revolusi, salah satunya dalam bidang
pendidikan. Apabila Indonesia ingin menjadi negara maju maka Indonesia harus
melakukan revolusi pendidikan 4.0. Pernyataan ini
disampaikan oleh salah satu pembicara dalam acara NGOPI (Ngobrol Pendidikan
Indonesia) bertema "Revolusi
Industri 4.0, Sarjana: Lahirnya Kaum Intelektual atau Hanya Menambah Pasar
Manusia Terdidik?"
Acara yang
diinisiasi oleh Dompet Dhuafa Pendidikan (19/10) ini bertempat di Warunkomando
Tebet Jakarta Selatan. Hadir sebagai
pembicara yaitu Drajat Martianto, Wakil Rektor 1 Bidang Pendidikan dan
Kemahasiswaan; Fadli Hari Purnomo, Plant and Engineering General Manager PT.
Astra Otoparts Tbk; serta Purwa Udiutomo, General Manager Sekolah Kepemimpinan
Bangsa.
Para pembicara
menyampaikan berbagai perspektif terkait tema yang diangkat. Dari perspektif
akademisi, Drajat menyampaikan bahwa Revolusi Industri 4.0 menjadi tantangan tersendiri
bagi dunia akademisi.
"Institusi
pendidikan dituntut untuk mampu menjawab tantangan perubahan zaman yang sangat
cepat. Tidak hanya sekedar menghasilkan lulusan yang memiliki ijazah, namun
kampus harus mampu menghasilkan pembelajar yang tangguh dan kreatif. Perubahan
zaman yang semakin distruptif, menjadikan kampus harus mencetak mahasiwa yang
lincah dalam belajar," kata Drajat dalam paparan awalnya.
"Selain itu
institusi pendidikan ditantang untuk menganalisis dimensi profesi kedepan.
Profesi apa saja yang mungkin muncul dan akan hilang sehingga kampus bisa
menyiapkan pembelajaran yang tepat untuk menjawab tantangan zaman," jelas
Drajat lebih lanjut.
Sementara itu dari
perspektif industri, Fadli Hari Purnomo yang kini menjabat General Manager
Plant and Engineering PT. Astra Otoparts Tbk menyampaikan bahwa Revolusi
Industri 4.0 membawa perubahan besar
karena 2 hal.
"Pertama,
terkait teknologi digitalisasi manufacturing sedangkan yang kedua adalah
tekanan pasar yang semakin melek teknologi. Untuk menjawab tantangan pertama,
maka Industri dituntut menerapkan teknologi yang mampu merespon era revolusi
industri 4.0. Dampak selanjutnya, industri ditantang untuk mencari SDM yang
siap menjawab kebutuhan industri berbasis ICT dan pasar yang melek
teknologi" kata Fadli dalam paparan singkatnya.
Sedangkan Purwo Udi
Utomo, General Manager Sekolah Kepemimpinan Bangsa Dompet Dhuafa Pendidikan
menyampaikan bahwa Revolusi Industri 4.0 menjadikan maraknya mahasiswa yang
menjadi entrepreneur. Kondisi ini bisa mengubah status ekonomi mahasiswa dengan
cepat. Selain itu beliau menyampaikan tentang pengaruh teknologi terhadap
gerakan mahasiswa.
"Sebuah
gerakan sosial yang digalang oleh aktivis BAKTI NUSA, salah satu program
beasiswa yang dikelola Dompet Dhuafa Pendidikan ketika tergerakkan untuk memperbaiki
sekolah rusak dapat berjalan secara mengagumkan. Bermodal sosial media, dalam
waktu 2 bulan sudah ada tindak lanjut perbaikan dari pemerintah. Bandingkan
dengan beberapa tahun lalu, dimana ratusan aktivis melakukan aspirasi
dijalan-jalan namun tidak ada perubahan sama sekali," jelas Purwo.
Purwo kemudian
menjelaskan lebih lanjut tentang tantangan di era revolusi industri 4.0.
"Pertama,
paradigma SDM pengelola pendidikan dimana ada gap usia antara pemegang
kebijakan dengan mahasiswa. Kedua, harus dipastikan ada hal penting yang tetap
dipegang teguh meskipun ditengah perubahan, yaitu integritas," jelas
Purwo.
Dalam sesi tanya
jawab salah seorang peserta bertanya tentang urgensi pendidikan formal di masa
depan. Masing-masing pembicara kemudian memberikan pandangannya. Drajat
Martianto, Wakil Rektor 1 Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan menjawab, kedepan
memang institusi formal bukan satu-satunya pilihan.
"Saat ini saja
tidak sedikit mahasiswa putus kuliah, namun mereka dapat sukses besar menjadi seorang
rentrepreneur. Tapi hal yang perlu diingat bahwa tidak semua hal bisa
dipelajari sendiri secara informal. Kampus merupakan tempat berkembangnya ilmu
pengetahuan serta tempat mengajarkan mahasiswanya menemukan pola pikir,"
pesan Drajat.
Sedangkan Purwo
menyoroti dari 2 hal. Pertama dari sisi pragmatis, harus diakui pendidikan
formal masih dibutuhkan. Bagaimanapun ijazah masih menjadi sesuatu hal yang
diperhatikan di masyarakat. Tingkat pendidikan seseorang mencerminkan status
sosial ditengah-tengah masyarakat.
Kedua, secara strategis pendidikan formal harus tetap dijaga. Tak
sedikit entrepreneur yang sudah sukses melanjutkan studi S2. Alasannya bukan
untuk mencari ijazah, namun untuk menemukan jejaring," jelas Purwo.
Data dari
kemenristek setiap tahun hampir satu juta sarjana diluluskan dari 3.243
Perguruan Tinggi di Indonesia dan 600 ribu diantaranya menjadi pengangguran.
Kondisi ini menjadi masalah yang harus diselesaikan oleh dunia pendidikan
Indonesia. Era 4.0 menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pendidikan
indonesia. Sudah selayaknya pendidikan Indonesia melakukan terobosan-terobosan
revolusioner agar mampu menghasilkan lulusan yang tangguh menghadapi
perkembangan zaman.
0 Komentar